Pemerhati Budaya Kuliner Nusantara
Di tengah gempuran kuliner cepat saji dan makanan viral yang silih berganti di media sosial, ada satu hidangan yang tetap bertahan di hati masyarakat Indonesia: sate kambing. Bukan sekadar potongan daging yang dibakar, sate kambing adalah pengalaman rasa, cerita budaya, dan bahkan simbol status sosial di banyak tempat.
Setiap kali lebaran haji tiba, atau saat seseorang merayakan hajatan besar, aroma daging kambing yang dipanggang dengan bara arang seperti menjadi penanda: ini bukan hari biasa.
Antara Tradisi dan Gengsi
Tak seperti sate ayam yang mudah ditemukan di pinggir jalan, sate kambing kerap diasosiasikan dengan perayaan, kemewahan, atau pesta keluarga. Ada aura “eksklusif” pada sate kambing: mulai dari daging yang lebih mahal, proses marinasi yang kompleks, hingga keterampilan membakar yang tidak bisa sembarangan.
Di Jawa, misalnya, sate kambing menjadi simbol jamuan yang bergengsi. Di desa, orang-orang bahkan akan mengingat momen mereka “disuguhi sate kambing” sebagai bentuk kehormatan dari tuan rumah. Di kota, warung sate kambing legendaris seperti Sate Pak Gino atau Sate H. Romli menjadi semacam ziarah kuliner bagi para pencinta daging kambing sejati.
Kuliner yang Membentuk Karakter
Menikmati sate kambing bukan cuma soal rasa. Ini soal keberanian menghadapi aroma khas, soal keteguhan mengunyah tekstur yang sedikit liat, dan soal kemampuan menghargai bumbu kecap sederhana yang dipadu irisan bawang, tomat, dan kadang jeruk limau. Sate kambing mengajarkan kita bahwa kelezatan tidak selalu instan dan langsung akrab di lidah.
Ia juga mengajarkan makna moderasi. Bagi sebagian orang, kambing dianggap memicu kolesterol atau tekanan darah. Maka sate kambing tidak untuk disantap tiap hari. Ia dinikmati dalam momen spesial dan justru karena itu, kelezatannya terasa lebih bermakna.
Sate Kambing dalam Identitas Kita
Bicara sate kambing juga berarti bicara soal identitas kuliner bangsa. Tak sedikit turis asing yang datang ke Indonesia dan jatuh cinta pada keunikan hidangan ini. Bagi diaspora Indonesia di luar negeri, sate kambing adalah rasa pulang yang sulit ditiru. Di banyak komunitas, upaya mengolah sate kambing di perantauan bahkan menjadi aktivitas kolektif: berburu daging halal, membuat arang sendiri, dan membangun panggangan darurat.
Di sinilah kita melihat bahwa sate kambing bukan hanya makanan. Ia adalah simbol rumah, kebersamaan, dan sekaligus nostalgia.
Kuliner yang Harus Dirawat
Sayangnya, tidak semua generasi muda memiliki kedekatan dengan sate kambing. Banyak yang lebih akrab dengan chicken wings Korea atau burger artisan daripada sate-satean. Padahal, jika kita tidak merawat tradisi kuliner seperti sate kambing dengan mengenalkannya di sekolah, festival makanan, atau tayangan media maka cepat atau lambat ia bisa tergeser dari panggung utama budaya makan kita.
Pemerintah daerah, pelaku UMKM, dan influencer kuliner punya peran penting dalam menjaga eksistensi sate kambing. Inovasi bisa tetap dilakukan misalnya dengan pengolahan saus modern atau teknik penyajian baru asal tidak kehilangan ruh dari sate kambing itu sendiri: daging kambing asli, dibakar di atas arang, dan disajikan dengan penuh penghormatan.
Penutup
Sate kambing bukan hanya warisan kuliner. Ia adalah cerita tentang cara kita memaknai jamuan, rasa hormat, dan kebersamaan. Dalam tiap tusuk sate yang terbakar hangat, ada jejak sejarah, kebudayaan, dan cinta pada cita rasa Nusantara.
Menjaga sate kambing tetap hidup bukan hanya urusan lidah. Ini tentang menjaga identitas kita sendiri karena tak semua bangsa bisa berkata bahwa mereka punya satu hidangan sederhana yang bisa menyatukan rakyatnya dalam bara, bumbu, dan rasa bahagia.
Penulis adalah seorang mahasiswa S2 Program studi Pendidikan Matematika by Research Gasing Universitas Pendidikan Indonesia