Namanya, Beni. Lengkapnya, Benediktus Laga Emin. Putra asli kelahiran Desa Idalolong, Kecamatan Nagawutung, Kabupaten Lembata.
Awal pertemuan kami sekitar 5 tahun silam, tepatnya pada Maret 2015. Waktu itu, untuk pertama kali saya dipercayakan menjadi Kepala Sekolah, dan ditempatkan pada SMPN Satap Tewaowutung, Desa Tewaowutung, Kecamatan Nagawutung. Sebuah sekolah kecil jenjang SMP, yang terletak di sebelah selatan Pulau Lembata. Saya ingat, kala itu Beni adalah salah satu siswa kelas dua.
Bicara tentang sosok seorang Beni, memang menarik. Banyak yang bsia diceritakan dari setiap moment kebersamaan bersamanya.
Kharakter disiplin, sudah ia tunjukan sejak beliau masih di bangku SMP kala itu. Selalu datang dan pulang tepat waktu ke/dari sekolah, aktif mengikuti kegiatan pengembangan diri seperti paduan suara di gereja, OSIS, pramuka dan kegiatan lain di sekolah, adalah bagian dari kharakte positip dalam diri yang sering ia praktekan.
Seingat saya, kegiatan eskul yang paling disukai Beni waktu itu adalah Pramuka. Dalam dunia kepramukaan, Beni senantiasa memposisikan dirinya menjadi anggota penggalang putra terbaik. Beberapa kali Beni dan teman-temannya sukses mengharumkan nama gudep SMPN Satap Tewaowutung, dalam kegiatan kepramukaan baik di tingkat gudep maupun di luar gudep.
Beni selalu menjadi panutan. Tak mengherankan, jabatan Pemimpin Regu Utama (Pratama) Penggalang Putra diletakan di atas pundaknya. Dan dia, sangat bertanggunjawab untuk itu. Sama sekali tak diragukan. Beni mampu membuat bangga seluruh rekan-rekan penggalang maupun para pembinanya.
Satu yang saya paling ingat adalah, Beni hebat sekali PBB. Persatuan Baris Berbaris adalah salah satu materi kepramukaan yang paling disukai Beni. Ia selalu menjadi yang terbaik dalam PBB.
Keahlian dan kecintaannya pada dunia PBB ditularkan kepada seluruh rekannya, tidak hanya ketika latihan pramuka, tetapi juga pada saat apel bendera di setiap hari Senin. Di tangan si Beni, semua upacara bendera pasti disiapkan secara baik dan bertanggungjawab. Itulah si Beni yang saya kenal waktu itu.
Dipukul tapi tak membalas
Saya masih ingat betul peristiwa naas ini!
Pada suatu sore menjelang malam, saya mendapat telpon dari bapak Moses (ayahnya si Beni) bahwa Beni dipukul oleh sosok pemuda di kampung, sesaat ketika Beni dalam perjalanan pulang ke desanya, seusai mengikuti kegiatan belajar sore di sekolah.
" Ama Kepala Sekolah, saya mau laporkan kepada ama, bahwa anak saya Beni dipukul. Padahal dia tidak bersalah apa-apa. Dan saya mau sampaikan ke ama, bahwa kami tidak terima dengan perlakuan ini. Keluarga besar kami pasti akan datang menuntut balas perbuatan ini," ujar bapak Moses dengan nada sangat kesal.
Sejenak saya terdiam. Dalam hati saya berpikir, apa sesungguhnya kesalahanny si Beni sampai ia tega dipukul? Karena sepengetahuan saya, Beni adalah anak yang tenang.
Dalam situasi belum yakin 100% dengan berita yang didengar, saya hanya menitipkan pesan buat Bapak Moses.
" Ama, urus bae-bae. Saya percaya, anak saya Beni, bukan type anak yang nakal. Kalau toh dia dipukul, dikeroyok atau apapun itu, silahkan diambil urusan secara baik dan benar. Laporkan saja pada pemerintah desa setempat, dan jangan main hakim sendiri. Di sekolah, saya tidak pernah mengajarkan pada si Beni untuk membalas dendam. Saya mengajarkan dia untuk senantiasa sabar dan berbesar hati dalam memaafkan. Karena bagi saya, hanya orang sabar yang sukses dalam hidup,"jawab saya di telepon mencoba mendinginkan situasi.
Nilai yang sempat saya ambil dii balik persoalan ini adalah, saya bangga pada Beni dan keluarganya. Mereka mau memaafkan dan menyelesaikan persoalan tersebut secara kekeluargaan. Hubungan kekerabatan dan persaudaaran jauh lebih dikedepankan dan diangkat nilai-nilainya, ketimbang balas dendam dan sakit hati. Beni pun kembali bersekolah dengan giat dan disiplin, demi masa depan yang lebih baik, setelah persoalannya diselesaikan.
Tinggal saja di rumah saya,pak!
Hampir kurang lebih 8 bulan saya tinggal di rumahnya si Beni di desa Idalolong. Setiap hari, saya pergi dan pulang sekolah bersamanya. Bahkan kadang, jika di sore hari masih ada kegiatan, kami harus kembali lagi sekolah.
Menghabiskan waktu bersama Bapak Moses dan mama, bersama Omen dan istrinya, juga bersama si Beni, adalah serasa seperti di rumah sendiri. Lebih tepatnya, saya merasa seperti anak sulung di dalam rumah.
Sore hari, jika tak ada kegiatan di sekolah, kami selalu pergi ke kebun, memberi makan ternak, mencari kayu bakar, menangkap udang dan belut di kali, memancing, melepas pukat,hingga memanah/menembak ikan di malam hari, di pantai Penikenek. Ini sungguh pengalaman tak terlupakan waktu itu, ketika bersama si Beni dan segenap keluarga.
Pak, Celana Loreng ini buat saya!
Barangkali di sini puncak motivasinya bagi Beni untuk menjadi seorang tentara, suatu saat nanti.
Saya ingat, kala itu, saya baru saja kembali dari Lewoleba. Kebetulan ada rapat dinas yang harus saya hadiri di sana. Dalam perjalanan pulang, saya mengenakan celana panjang loreng, hasil pemberian teman saua dulu di SMP Santo Pius X Lewoleba, yang kebetulan juga sudah menjadi tentara.
Singkat kata, ketika tiba kembali di rumahnya Beni, seperti biasa, ia selalu menyiapkan air minum untuk saya, untuk menyegarkan kembali dahaga setelah letih perjalanan. Dari sinilah komunikasi menuju cita-citanya di mulai.
" Pak, kasih saya celana ini. Saya sangat suka. Saya yakin, suatu saat nanti, saya akan pakai pakaian loreng ini benar-benar, layaknya seorang kesatria negeri. Pembela NKRI sejati," ujar Beni.
" Tapi celana ini sudah bekas pak pakai, Ben, "jawab saya agak keberatan.
" Tidak apa, pak. Saya akan cuci, setrika secara rapih baru saya pakai.
"Yah sudah, sebentar bisa kau ambil. Semoga dengan mengenakan celana ini, akan menghantarkanmu pada mimpi besarmu tentang cita-cita di masa mendatang, menjadi seorang tentara.
Cari pak sampai dapat, dan ceritakan bahwa engkau sudah menjadi seorang tentara suatu saat nanti," jawab saya memotivasi. Pernyataan saya ini pun dibalas dengan senyum penuh keyakinan di wajah si Beni.
Dan sejak saat itu, celana loreng tentara pemberian sahabat saya itu pun jadi miliknya si Beni. Bahkan, senantiasa melekat di tubuhnya. Saya melihat ada kebanggaan tersendiri dalam dirinya, ketika mengenakan celana ini.
Dalam hati saya berdoa, "semoga kelak, celana ini benar-benar menjadi milikmu abadi. Jadilah sosok prajurit TNI sejati suatu saat nanti."
Pak, Ini saya Beni. Saya tepati janji saya untuk mencari bapak suatu saat nanti!
Memang seorang prajurit TNI senantiasa setia dengan setiap janji dan sumpahnya. Sumpah untuk setia dalam tugas membela NKRI. Kesetiaan sejati seorang prajurit TNI adalah gambaran rasa cintanya yang mendalam terhadap bangsa, daerah, kampung halaman, suku-lamak, keluarga hingga dirinya sendiri.
Hari ini, tepat pukul 14.00 wita, saya didatangi seorang prajurit TNI berseragam lengkap di sekolah saya yang sekarang, SMPN 1 Nubatukan. Ternyata dia adalah Prajurit Dua (Prada) TNI, Benediktus Laga Emin. Ia datang bukan sebagai siswa atau pun mantan siswa dulu, tetapi ia datang sebagai seorang kesatria bangsa. Seorang kebanggan lewotanah. Seorang tentara.
Dengan mengemban tugas barunya sebagai BABINSA untuk Kecamatan Wulandoni, tepatnya di desa Lamalera B, Beni bangga datang menepati janjinya.
" Pak, saya mau bilanng terima kasih banyak untuk semua didikan bapak dulu. Terima kasih banyak untuk celana lorengnya. Terima kasih banyak untuk semua motivasi, dan nasihat. Saya sudah nemetik mimpi saya,pak. Mohon doanya untuk saya di tempat tugas nanti," ucap Beni sambi memeluk saya, mantan guru dan Kepala Sekolah yang sempat bersamanya lebih kurang tiga tahun.
Ada rasa haru. Ada rasa bangga. Ada rasa bahagia. Tidak disangka, apa yang telah ditabur dengan tulus dan kasih sekitar lima tahun silam, satu per satu mulai dituai hasilnya saat ini. Beni adalah salah satu contohnya. Sambil merangkulnya saya berbisik,
" Ben, jaga wibawa seragam yang kau kenakan sekarang, Nak. Musuhmu bukan orang-orang kampung yang kau layani dan lindungi setiap hari. Musuhmu adalah mereka yang dengan sengaja merong-rong NKRI.
Oleh karena itu, ingat bapa, mama, kaka, ade, dan suku-lamak. Ingat semuanya, Ben. Mereka juga berharap, engkau tidak saja jadi kebanggaan bangsa, tapi juga kebanggan mereka. Jaga itu, Ben..!" (M3)