NAMAKU CARLOS (Kisah Inspiratif dari posko pengungsian)



                    "NAMAKU CARLOS"
(Sebuah kisah inspiratif dari posko pengungsian erupsi gunung Ile Lewotolok)



Panggil aku Carlos. Usiaku saat ini 37 tahun. Aku berasal dari desa Lamatokan, Kecamatan Ile Ape Timur, Kabupaten Lembata. Saat ini, aku adalah satu dari sekian insan  difable yang ikut diungsikan keluar dari kampung halamanku, akibat erupsi gunung berapi Ile Lewotolok. 

Spensa Nubatukan, adalah rumahku yang baru. Bersama mamaku tersayang, juga sekian banyak orang dari kampungku dan kampung-kampung sekitar, kami diungsikan ke sini pada hari Minggu, 29 November 2020 lalu. Aku masih ingat, tepat jam 02.00 subuh, kami tiba di sekolah ini dan diterima oleh bapak kepala sekolah, para guru dan relawan. 

Perkenankan aku sedikit bercerita tentang awal bencana itu terjadi hingga saat ini, versi aku. 



BENCANA ITU BEGITU DEKAT...


Waktu itu, hari Minggu, tepatnya pukul 09.45 wita, gemuruh besar terdengar dari dalam perut gunung Ile Lewotolok. Gunung yang selama ini berdiri megah sebagai latar belakang dan benteng kampungku, Lamatokan.

Tetapi pagi ini, tanah bergetar hebat. Semua orang berteriak ketakutan dan histeris. Semua orang panik dan gemetar. Berlarian tak tentu arah dalam ketakutan yang luar biasa. Aku melihat sendiri, di luar sana, orang mulai berlari berhamburan. Para ibu panik dan berlari sambil meneriaki nama anak-anak mereka. 

Aku tahu, ada bencana yang sedang terjadi. Setidaknya bencana alam yang sangat dekat jaraknya dengan diriku. Tapi aku bisa apa? Jangankan berlari, berjalan saja aku tak bisa secepat orang-orang di luar sana. Hidupku hanya bisa bergerak cepat kalau aku dibantu dengan kursi rodaku. Tapi siapakah yang sudi menolong aku berlari? Aku dan kursi rodaku hanya akan jadi beban tersendiri bagi mereka.

Mama berbisik ke telingaku, kalau gunung Ile Lewotolok yang tepat di belakang kampung kami meletus. Aku terdiam. Dalam hati aku hanya berpikir, tentu aku pasti akan ditinggalkan sendirian di tempat ini. Sebab semua orang di luar sana, sedang berlari menyelamatkan diri masing-masing dalam kepanikan. 

Mama merangkulku erat dengan ari mata mengalir di pipinya, sambil berbisik ke telingaku dia berucap:

" Ama Carlos, mama tidak akan meninggalkanmu. Mama tetap di sini bersamamu. Seandainya Tuhan dan Lewotanah menghendaki kita mati sekalipun, biarkan kita mati bersama di rumah ini"

Kata-kata mama membangkitkan kembali kekuatan baru dalam diriku. Aku yakin, kata-kata mama sangat sakti, karena merupakan doa terkhusyuk yang baru pernah ku dengar sepenajang 37 tahun hidupku. 

Mama benar-benar menjadi hamba
 Tuhan dengan iman sangat teguh. Mama begitu pasrah pada mujizat dan rencana Tuhan. 
Mama sangat percaya, bahwa bagi Tuhan, tak ada yang mustahil.

Begitulah, aku dan mama akhirnya punya kekuatan diri yang sama dan kokoh. Kami kuat, karena kami yakin akan penyelamatan yang datang dari Tuhan. Kami kuat, karena kami yakin, Lewotanah tidak akan pernah meninggalkan kami. 

Bersama mama, aku pun akhirnya tenang jiwaku, tenang ragaku. Kami hanya bisa melihat semua orang berlarian. Kami hanya bisa mendengar orang-orang berteriak ketakutan. Kami hanya bisa mendengar bunyi seng atap rumah kami yang mulai bergemuruh akibat ditmpa material abu dan kerikil dari gunung Ile Lewotolok. Dan aku dan mama menikmati semua itu dengan senyum getir di bibir....


TUHAN ITU MAHA MENDENGAR



Hampir sekian jam sejak pagi, aku dan mama duduk tenang di dalam rumah. Mama khusyuk berdoa. Sedikitpun dia tak gemetar apalagi ketakutan. Aku melihat dan merasakan itu. Mama sangat tegar dalam imannya. Mama sangat teguh dalam keyakinannya. 

Dengan kekuatannya yang tersisa, mama menyiapkan makan malamku. Sepiring nasi, ikan dan sayur, mama hidangkan di hadapanku. Lembut suaranya berbisik, mengajakku untuk menghabisakan makanan yang ada.

"Ama Carlos, engkau harus makan. Engkau harus kuat. Tuhan dan Lewotanah punya telinga dan mata. Mereka bisa melihat dan mendengar kita berdua sekarang. Makanlah, ama..!" bisik mama lembut.

Aku langsung menolak. Aku bilang ke mama, kalau aku baru mau makan, jika mama juga makan bersamaku. Sebab bagiku, mama juga harus kuat.

Akhirnya, mama pun ikut makan bersama-sama denganku. Aku melihat mama sangat lelah.  Aku melihat ada kesedihan yang tersamar di balik guratan wajah mama.

Waktu bergerak terus, dan senja pun beranjak pergi. Malam datang mencekam. Entah jam berapa sekarang, aku tak ingat lagi persisnya. 

Tiba-tiba pintu rumah kami diketuk keras. Aku dan mama kaget. Segera mama menuju pintu rumah dan membukakan pintunya. Di depan mama telah berdiri seorang tentara dan pengurus desa. 

" Mama, sekarang juga kita harus keluar. Kita segera kumpul di titik evakuasi desa. Sesaat lagi, akan ada kendaraan yang siap menghatar kita keluar dari desa ini. Kita harus ke Lewoleba malam ini juga," ujar pak tentara yang adalah Babinsa di desaku.

Tanpa panjang kata, aku langsung dibopong pak tentara. Mama dan beberapa warga langsung menyusul sambil membawa kursi rodaku dan beberpa potong pakaianku. 
Tak butuh waktu lama, kami sudah tiba di titik evakuasi. 

Di sana, ada beberapa mobil yang sedang parkir bersiap mengevakuasi warga. Karena kondisiku seprti ini, aku langsung digendong naik ke mobil dump truck, besrrta kursi rodaku, mamaku dan juga warga yang lain. Kami langsung dilarikan secepat bisa menjauh dari gunung berapi, Ile Lewotolok. 


SPENSA NUBATUKAN, RUMAH BARUKU YANG DAMAI




Tepat pukul 02.00 subuh, mobil yang membawaku bersama sejumlah warga tiba di halaman tengah Spensa Nubatukan. Aku sendiri belum tahu, tempat apakah ini gerangan. Yang ku tahu, ada sekian banyak orang telah setia menuggu kami di sini dengan senyum. 

Baru keesokan harinya, kusadari kalau aku sedang berada di sebuah sekolah. Sekolah yang dikenal dengan nama SMPN 1 Nubatukan atau yang biasa disebut Spensa Nubatukan. 

Aku, mama, dan juga beberapa warga ditempatkan di ruangan yang sama. Aku tidak terlalu kebingungan untuk beradaptasi di rumah yang baru ini, karena 100% penghuni ruangan ini adalah berasal sama dari kampungku, Lamatokan. Jujur, sejak tiba sampai pagi, sama sekali mataku dan juga mama dan yang lain, tidak bisa dipejamkan. Kami pun terjaga sampai pagi.

Waktu terus  bergerak. Pagi pun datang lagi. Perlahan pemandangan semakin terang, meski di langit kabut dan abu vulkanik masih bertebaran dan membuat langit senantiasa mendung. 

Terdengar suara di microphone sekolah,  panggilan untuk minum pagi dan makan pagi, telah disiapkan. Mama langsung menuju dapur umum. Tak lama kemudian, mama kembali dengan dua piring nasi lengkap dengan lauk dan sayur, serta dua gelas teh panas. 

Bersama mama, makan pagi kali ini sungguh kunikmati. Meskipum makan pagi pagi ini bukan di meja makan rumahku. Makan pagi di sekolah. Makan pagi di posko pengungsian. 

Ku lihat, ada butiran air mata di sudut mata mama. Mama tentu sangat sedih meninggalkan semua harta benda, rumah dan kampung halaman di sana.

" Mama menangis kenapa?" Tanyaku.
" Ah, tidak Carlos. Mama tidak menangis. Mama sedang bersyukur, Tuhan dan Lewotanah begitu baik pada kita. Kita bisa diselamatkan, Carlos. Mama rasa, Tuhan dan Lewotanah sangat mendengar semua jeritan kita berdua. Sungguh mereka benar-benar ada,Carlos," kata mama pelan.

Dan memang, mama benar. Tuhan dan Lewotanah memang benar-benar ada. Mereka ada dan maha mendengar. Air mata kita dihapus. Tangis kita didengar. Kebaikan dan keselamatan telah mereka siapkan untuk aku dan mama, tepat pada waktunya. Tuhan sungguh baik. Lewotanah sungguh ada.


JANGAN PINDAHKAN AKU




Memang, orang seperti diriku yang punya sekian banyak kekurangan fisik (difable), dalam masa bencana harus diperhatikan secara baik. Setidaknya tempat pengungsian yang harus aku tempati pun, betul-betul inklusif dan tidak membuatku menderita. 

Pemerintah  daerah ini sudah sangat baik memperhatikan kaum kami. Satu unit posko pengungsian untuk kaum difable telah disiapkan. 

Sejak hari ketiga keberadaanku di posko Spensa Nubatukan, ada sekian kali petugas kesehatan yang datang meminta, kalau boleh aku dan mama dipindahkan ke posko pengungsian yang baru, khusus bagi para difable dan keluarganya. 

Aku keberatan.  Dan aku mohon jangan pernah pindahkan aku. Karena aku sudah merasakan cinta yang besar di sini. Aku benar-benar merasakan hampir tidak ada bedanya perhatian ibu/bapak guru dan relawan di sini, sama seperti di rumahku sendiri. Mereka sangat mulia dan tulus hatinya. Dan aku bisa merasakan itu.

Bukan aku menolak ajakan untuk pindah. Namun tolong dengarkan aku. Di sini, aku sangat merasakan kedamaian. Tolong dengarkan aku. 


BAWA KEMARI SANDAL DAN SEPATUMU YANG SOBEK, AKU AKAN BETULKAN DENGAN TANGANKU SENDIRI...!




Terlahir cacat fisik, tidak membuatku minder atau pun malu. Aku tak pernah sedikitpun menghukum diriku, mamaku, keluargaku, atas cacat tubuh yang kuderita. Apalagi menyalahkan mereka. Sama sekali tak ada dalam diriku pikiran seperti itu. Aku sudah sangat bersyukur dengan diriku saat ini.

Di balik cacat fisik yang kualami, ternyata Tuhan beri aku segudang kelebihan dan talenta. Aku punya skill yang orang lain belum tentu punya. Aku bisa menjahit sandal dan sepatu yang sobek. Jahitanku sangat rapih dan kuat. Banya orang sangat puas dengan hasil kerjaku. 

Aku juga punya pemahaman tentang listrik yang baik. Aku bisa menginstalasi jaringan listrik, memperbaiki lampu-lampu yang rusak, bahkan hingga senter sekalipun sanggup kubetulkan kalau sudah rusak.

Kemampuan elektronik, apa lagi. Aku bisa membetulkan sound system, merakit sound system hingga membetulkan atau memperbaiki TV hingga handphone yang rusak.

Semua kemampuan ini, aku miliki tanpa sedikitpun pernah duduk di bangku pendidikan formal. Aku tahu, Tuhan sungguh baik. Aku tahu, Lewotanah maha mendengar semua jeritanku sejak dulu. 

PESAN CARLOS:




Kalau boleh, aku beri beberapa pesan buatmu dari posko pengungsianku:
1. Hidup harus selalu disyukuri. Apapun itu keadaanmu saat ini, syukurilah. Tuhan butuh hati yang selalu bersyukur, agar berkatNya segera akan Dia nyatakan dalam hidupmu.

2. Bagi Tuhan, tidak ada yang mustahil. Apa yang tidak mungkin bagi manusia, akan dibuat sangat mungkin bagi Tuhan.

3. Hormatilah ibumu, juga bapamu. Pada mereka ada berkat yang Tuhan titipkan untukmu.

4. Terima kasih banyak untuk tentara yang telah menggendongku, juga guru-guru yang ramah menerimaku. Kepada kalian semua yang telah berbuat baik atas nama kemanusiaan, doaku khusus kupersembahkan bagimu.
      

                                    ***





Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama