BANGGA MENJADI "KEBAREK ADONARA" (Catatan Perjalanan Amel)




Waktu menujukkan pukul 04.00 subuh. Aku terjaga. Bunyi sekaligus getar weker di handphon mengagetkan aku. Sontak aku langsung bangun terduduk di atas tilamku. Ini adalah kali pertama aku terbangun sesubuh ini, selama masa belajar di rumah diberlakukan akibat covid 19. Yah, benar. Ini adalah kali pertama aku terbangun di pagi hari secepat ini.

Kupejamkan mataku dan mulai bersyukur atas anugerah hari baru serta kehidupan,  yang diberikan Tuhan, lagi di pagi ini. Nafasku kutarik dan kuhembuskan perlahan secara berbisik, "Tuhan, terima kasih. Pakailah aku sesuai kehendakMu, hari ini. Berkatilah papa,mama, dan adikku bertiga. Anugerahkan kesehatan raga dan jiwa bagi semua kami. Khususnya, berkatilah perjalanan kami hari ini, menuju kampung halaman leluhur kami, di pulau Adonara. Amin"

" Malica...Malica....Rolland....Rolland, ayo bangun. Kita harus bersiap. Sebelum jam 6, kita harus sudah berada di pantai Waijarang. Kata paman Syarif, ia akan sudah  berada di sana sebelum jam 6", panggil aku kepada kedua adikku. Tanganku terus menggoyang-goyangkan tubuh mereka dan memastikan bahwa mereka telah benar-benar terjaga.

Di kamar sebelah, samar kudengar bunyi gemericik air di kamar mandi. Itu pasti papa. Papa adalah orang yang sangat disiplin. Hampir tak pernah kulihat papa terlambat dalam urusan apapun itu yang telah ia rencanakan secara matang. Papa adalah orang yang selalu jadi panutan hidupku.

Tanpa buang waktu lama, aku langsung bergegas ke kamar mandi. Malica dan Rolland adikku pun sama. Cuma satu yang terus tidur pulas, Gieshel, adik bungsuku yang baru saja merayakan hari ulang tahunnya yang kedua,kemarin. Memang ia harus tetap tidur, karena papa juga tak mengijinkannya berlibur ke kampung. Ia masih terlalu kecil,heheheh ....
***



Tepat pukul 06.00 pagi, kami tiba di tepian pantai Waijarang. Dan memang benar dugaanku, paman Syarif, pemilik bodi (perahu nelayan) yang akan menjemput kami pun, sedang berusaha menambatkan bodinya secara baik tepian.

Sementara di ufuk timur, panorama langit yang melatari gunung Ile Ape mulai berubah warna dari gelap ke abu-abu, dari abu-abu ke orange, dan dari orange ke kuning keemasan. Suungguh sebuah lukisan Tuhan yang sangat menakjubkan.

" Amel, ayo kita selfie. Sangat indah pemandangannya. Sekalian tolong video aku yah, aku mau buatkan video likee dan tiktok," pinta adikku Malica tak sabaran.

Dan memang Malica benar. View pantai Waijarang di pagi hari ini sangat luar biasa memanjakan mataku. Sangat menakjubkan.

Aku mulai menjadi kameramen sejati. Menjepret sana sini sekalian buatkan membuatkan video. Sebaliknya supaya adil, adikku Malica pun kupinta hal serupa. Aku mulai bergaya ini dan itu, sambil dijepret dan dishooting oleh adikku. Singkatnya, bertiga narsis abis pagi ini.

Aku kaget dan langsung menghentikan semua aktifitas narsis bersama kedua adikku ketika mendengar namaku dipanggil papa.

"Amel, ayoo sini. Buruan sama adik-adikmu. Kita harus segera jalan,"

"Iya, papa. Siap," jawabku sambil merangkul kedua adikku dan setengah berlari menuju bodi.

Sumpah, ini pengalaman pertama aku pulang kampung naik bodi. Perahu ini sangat kecil, bagiku.  Biasanya kalau pulang kampung, kami pasti menggunakan kapal penumpang. Tapi kali ini tidak. Kata papa, menggunakan bodi paman Syarif jauh lebih higienis karena tak ada satupun penumpang lain di dalamnya, selain keluargaku sendiri. Jadi kami tak perlu takut bersesak-sesakan di kapal yang belum tentu orang-orang di dalamnya steril atau sehat.

Menurutku, papa ada benarnya juga. Lebih baik mencegah dari pada mengobati. Apalagi di masa covid seperti sekarang.

"Papa, apa perahu ini tidak terlalu kecil?
Aku takut, " kata Rolland adik lelaki semata wayang sambil menggenggam erat lengan papa.

" Apa yang kamu takutkan, Rolland. Sini papa bilang. Namamu itu diambil dari nama Opa (almarhum). Opa itu serorang pelaut handal. Siapa yang tak kenal dia? Bahkan dengan sebatang kayu pun, ia akan bisa sampai di kampung, kalau ia nekat. Opa adalah orang paling berani di lautan. Nah sekarang, papa mau tanya. Apa Rolland adalah tipe laki-laki Adonara yang berani atau pengecut? Ayo,jawab..."

"Aku berani,papa," jawab Rolland.

" Nah, itu baru namanya anak papa" jawab papa sambil menggendong adikku masuk ke dalam bodi.  Dan kami pun mulai berlayar.

Paman Syarif membawa kami melaju cepat membela lautan di pagi hari. Bunyi gas mesin bodi tersengar semakin meninggi dan terus meninggi. Sementara haluan bodi  terlihat semakin naik, pertanda kecepatan bodi semakin menuju ke kecepatan maksimalnya. Buih putih mulai terlihat di kiri dan kanan bodi. Jantungku pun mulai berdebar keras. Dan yakinku, kedua adikku juga pasti demikian. Eh, ternyata aku salah. Rolland sibuk bermain game free fire. Sementara Malica sibuk mendengarkan lagu dengan headset sambil menggoyang-goyangkan kepalanya. Dan aku?

Aku hanya menatap wajah papa. Papa terlihat sangat santai. Tak ada sedikitpun raut wajah cemas atau ketakutan di wajahnya. Dan inilah alasannya, aku terus menghukum diriku. Mengapa aku harus takut? Aku selalu ingat nasihat papa. Menjadi "kebarek adonara" atau perempuan Adonara adalah sebuah kehormatan. Orang Adonara terkenal akan keberanian dan mentalnya yang sekuat baja. Ketakutan adalah musuh diri yang harus pertama kali dikalahkan, sebelum mengalahkan musuh yang lain.

Jadi, mengapa aku mesti takut?
Aku kan juga "kebarek adonara" kan? Meskipun aku terlahir di Lembata, tapi darah yang mengalir dalam tubuhku adalah darah Adonara. Aku semestinya berbangga, bukan takut. Aku harus bangga menjadi "kebarek Adonara".

" Amel", panggil papa mengaggetkanku.

" Iya, papa" jawabku kaget.

" Kita sudah hampir sampai," kata papa sambil menunjuk ke arah Desa Bolleng, desa pesisir pantai di Pulau Adonara yang akan jadi tempat kami bodi kami didaratkan.

Papa benar. Sangat indah Adonara di pagi ini . Apalagi kalau di lihat dari laut. Desa Boleng sangat cantik dilihat dari laut. Rumah-rumah warga didirikan di atas wadas yang kokoh. Bebatuan dan tebing pantai terlihat sangat angkuh dan kokoh.  Ada juga banyak bodi-bodi nelayan yang terparkir rapih. Kami telah tiba di Adonara. Kampung halamanku. Tanah nenek moyang dan leluhurku. Adonara, kami datang!
***



Tiga hari di kampung Lamalaka, Adonara benar-benar merubah seluruh diriku. Aku akhirnya paham, seperti apa aku harusnya menjadi.

Papa mempertemukan aku dan kedua adikku, dengan semua keluarga besar kami. Semuanya sangat mengasihi kami. Ada rasa rindu dan sayang yang luar biasa yang terberi. Kami sangat merasakan itu. Aku secara pribadi sangat terharu dengan semua kesempatan dan pertemuan ini.

Aku dan kedua adikku sangat menikmati waktu dan setiap moment berharga ini. Kalau selama ini, aku merasa Adonara hanya selebar cerita keluarga di Lembata, kini aku benar-benar merasakan, kalau aku benar-benar seorang "kebarek Adonara" yang sesungguhnya.

Di mana saja aku berjalan, semua orang selalu ramah menyapa.
" kereu, wae. Kereu, ina. Kereu, kaka. Kereu,ari....". Sapaan ramah yang senantiasa menggambarkan penghargaan yang sangat tinggi pada martabat dan nilai seorang perempuan Adonara. Awalnya, aku bingung harus menjawab apa, apalagi kedua adikku. Tapi, setelah diajarkan papa, opa dan oma, aku akhirnya paham dan tahu harus menjawab apa pada setiap komunikasi yang sangat berbudaya seperti ini.

Aku diiajarkan mengenakan "kewatek" atau sarung tenunan yang harus dan lazim dipakai  seorang perempuan Adonara. Sangat elegan dan mempesona. Aku sangat menyukai setiap garis motif tenunan ini. Sangat suka. Apalagi cita-citaku adalah ingin menjadi seorang designer suatu hari nanti. Aku berjanji, semua busana bernilai tinggi ini akan kujadikan andalan karyaku suatu saat nanti.

Aku juga tertantang untuk mencoba mengerjakan pekerjaan perempuan Adonara yakni membuat emping jagung atau "wata kenae". Sumpah, ini pekerjaan paling sulit menurutku yang dilakukan oleh seorang perempuan Adonara. Dengan tangan kosong mereka terlihat santai mengambil jagung yang sedang disangrai di dalam tembikar, dengan api yang sedang bernyala di bawahnya. Sangat mengerikan.

Aku tak sanggup. Terlalu panas. Tapi, rasa ingin mencoba dan tantangan ini sungguh kutaklukan. Jagung kuambil dari dalam tembikar panas dengan menggunakan media sendok makan. Aku ditertawakan seiisi rumah. Tak mengapa. Hari ini aku ditertawakan. Tapi setidaknya aku telah mencoba, dan aku bisa. Meski dengan versiku..heheheh.
****



Papa mengajak kami bertiga melakukan perjalanan paling bersejarah dalam hidupku. Perjalanan menuju suatu tempat  yang sama sekali belum pernah kubayangkan sama sekali dalam hidupku. Petualangan menuju asal usul leluhur suku dan tumpah darahku. Petualangan menuju kampung adat atau "lewo mur'e".

Jujur yang kupahami selama ini adalah, aku adalah orang Adonara dari desa Lamalaka. Yang kutahu adalah desa Lamalaka terletak di tepi pantai, berhadapan langsung dengan Lembata, khususnya teluk Lewoleba. Tapi kali ini, ternyata pemahamanku salah selama ini. Sejarah menceriterakan, ternyata desa Lamalaka saat ini adalah bagian yang tidak terlepas pisahkan dari perjalanan panjang leluhurku dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dimulai dari puncak gunung Boleng, dan bergerak turun ke lereng hingga akhirnya di tepi pantai, seperti saat ini.

Perjalanan menuju kampung lama/adat memang sangat menantang. Jantung kami berdegub keras. Hampir tak ada jalanan yang rata. Tanjakan dan jalan berkelok adalah pemandangan perjalanan yang selalu kunikmati.  Meski jalanan menuju kampung adat sangat menanjak, namun hampir semua jalanannya telah disemenisasi. Papa terlihat sangat menguasai setiap jengkal medan jalan menuju kampung lama.

" papa, masih jauh kah?", tanya Rolland adikku.

" Tidak nak. Sudah dekat", jawab papa santai.

Dan papa benar. Sampai pada puncak tertinggi, kami pun tiba.
Papa memarkir sepeda motornya tepat di bawah kaki tangga naik kampung lama. Adikku Rolland lansung digendong papa. Berempat kami mulai mendaki tangga demi tangga, sambil papa bercerita tentang "suku dan lewo".



Aku sangat menikmati semua cerita papa. Tanpa sadar, kami telah memasuki areal kampung adat. Aku tertegun sesaat. Mataku seakan tak percaya melihat pemandangan di depanku. Sungguh sangat menakjubkan. Ini sangat luar biasa. Alam pikiranku seketika melayang dan membayangkan, sejarah leluhurku hingga sampai ke aku dan generasiku saat ini.

Aku benar-benar bangga menjadi "kebarek adonara". Aku bangga bisa menyaksikan sendiri dari dekat, sejarah perjalanan panjang kampung halamanku dan semua leluhurku.

" Hati-hati, Amel. Bebatuannya licin," tegur papa mengagetkan lamunanku.

Kami pun mulai menuruni anak tangga demi anak tangga menuju areal perkampungan. Suasananya sangat lengang. Terdengar bunyi beraneka burung  yang juga sama sekali tak pernah kudengar di rumahku. Sangat mempesona.

Ada sebatang kayu meyerupai tugu, terpancang megah di tengah perkampungan adat. Di sisi kiri dan kanan ada barisan rumah-rumah adat dari setiap suku. Semuanya tertata begitu megah.



Satu pertanyaan yang terus tersimpan di kepala adalah siapakah arsitektur hebat waktu itu yang menata semua kampung ini dengan megah? Dengan cara apa semua benteng batu ini disusun? Bagaimana batu-batu gunung yang besar ini dipahat dalam bentuk lempengan-lempengan yang sangat rapih?
Ah, aku cuma bisa duduk diam memendam selaksa tanya. Intinya, aku sangat bangga dan bahagia berada di tempat ini.
****



Puas menikmati dan merasakan sakralnya situasi kampung adat, kami akhirnya kembali lagi ke rumah kami saat ini, di desa Lamalaka, tepi pantai, nun jauh di lereng sana. Aku pulang dengan rasa puas di dada.

Petualangan fantastis menelusuri jejak sejarah leluhurku sungguh mengajarkan dan menyadarkan aku saat ini. Aku paham sekarang, siapa sesungguhnya leluhurku. Siapa nenek moyangku. Dari mana mereka berasal dan seperti apa kehidupan mereka dulu. Meski semuanya itu, aku dapatkan dari imajinasiku dan pemandangan nyata yang baru saja aku alami bersama papa dan kedua adiku.

Besok, aku akan kembali lagi ke Lembata, rumah tempat kelahiranku dan semua adikku. Aku akan bertemu kembali semua orang, semua sahabat dan lingkungan tempat tinggalku. Aku akan tetap jadi orang Lembata. Di sana aku dilahirkan dan dibesarkan. Lembata adalah rumahku. Rumah kami. Namun tetap, darah dalam tubuhku adalah darah Adonara.
Aku adalah "kebarek Adonara" yang senantiasa terus berbangga. Terima kasih papa atas petualangannya. (Amel)





Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama