BAPAK DAN IBU GURU SPENSA NUBATUKAN, TERIMA KASIH SUDAH TERIMA KAMI SEBAGAI SESAMA DI RUMAH INI (Refleksi Tutup Tahun di Posko Pengungsian Spensa Nubatukan)

 


Tinggal hitungan jam, kalender tahun 2020 akan ditutup. Sesaat lagi lembar pertama tahun 2021 akan dibuka. Namun sebelum semuanya diakhiri, perkenankan kami goreskan secuil refleksi sederhana untuk tetap dikenang, hingga generasi dan turunan kami kelak.

                             *****

Sebulan sebelum kisah kehidupan di tahun 2020 ini kami akhiri di lewotanah, prahara datang menerjang dan menghancurkan semua mimpi-mimpi kami. Mematahkan semua harapan dan cita-cita. Hingga akhirnya memaksa kami harus keluar dari lewotanah . Pergi tinggalkan segalanya. 

Tinggalkan kampung halaman yang ramah, rumah dan kekeluargaan yang hangat, sukulango yang senantiasa jadi panutan, kebun  dan ternak yang senantiasa jadi sandaran hidup. Semuanya kami tinggalkan, demi keselamatan  dan kehidupan generasi lewotanah ke depan.

29 November 2020 jadi tanggal sejarah hidup kami dan keturunan kami kelak. Tepatnya pukul 09.45 pagi, hari Minggu, selepas gereja  di kapela kecil yang damai di kampung, sejarah itu pun tercipta. Dentuman keras terdengar merobek alam dan seisinya. Bumi bergertar dan gemuruh itu begitu kuat. Hanya dalam hitungan detik, ribuan ton kubik material yang selama ini berdiam dalam perut bumi, dimuntahkan setinggi-tingginya ke langit. ILE ALEN GOLE kelam seketika. 

Gunung Ile Ape / Ile Lewotolok yang selama kehidupan kami dan generasi sebelum kami, nyaris tidak pernah didengar sama sekali cerita tentang dasyatnya letusan atau erupsi, hari ini benar-benar terjadi.

 Dan tepat di depan mata kami sendiri. Di depan mata anak-anak dan cucu-cucu kami. Ile Apin Tawa, Ile Ape murka. Ile yang selama ini mengalirkan susu dan madu untuk  generasi kami, marah.

 Alam sekitar mulai dari puncak hingga ke tepi laut, pun ikut geram. Dan di titik ini? Kami tak kuasa bertahan, bahkan maaf dan teriakan kami sekeras apa pun, tak didengarnya.

 Ina Peni Utan Lolon terus memberikan kami pelajaran demi pelajaran. Seakan ia tak pernah puas menegur dan memberi peringatan, karena kami telah sangat tuli untuk semua nasihatnya yang lembut selama ini. Ia kecewa. Ia terluka. Ia sedih menatap kami dari ketinggiannya.

Dengan derai air mata, kami pergi meninggalkan lewotanah kami. Kami pergi sambil menangisi semuanya yang telah kami tinggalkan. Kami pergi sambil menyesali semua salah yang pernah ada di lewotanah kami. Kami pergi dengan sesal dan luka.

                               ***

Dan dari sejak itu...

Kami mulai terpisah satu dengan yang lain. Ada keluarga kami, yang ketika di lewotanah dulu kami bertetangga sangat rapat. Makan dan minum apa adanya selalu bersama. Suka dan duka senantiasa dibagi bersama. Tetapi dalam pelarian kami keluar dari lewotanah akibat letusan gunung Ile Lewotolok ini, kami terpisah. 

Ada yang kemudian kami tahu, kalau mereka ternyata tinggal di aula kantor camat, aula kelurahan, eks-kantot bupati Lembata, di sekolah-sekolah, dan juga di rumah-rumah keluarga dan kenalan mereka seputar kota Lewoleba. Ada juga yang kami dengar, sempat lari menyelamatkan diri hingga ke Lebatukan, Kedang, Loang, hingga Nagawutung pesisir. Di sini kami sadar, kalau semuanya telah hilang. Dan hilang dalam sekejap.

Namun kehidupan tetap harus terus dijalani. Dan kami harus mulai dari yang baru. Di tempat dan suasana yang baru. Di lingkungan dan komunitas sosial yang baru pula. Kami harus cepat beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan segala sesuatu yang baru. Karena di sinilah, lewo dan keluarga kami yang baru, harus kami mulai. 


SPENSA NUBATUKAN: RUMAH dan LEWO BARU KAMI YANG SANGAT RAMAH

Tepat pukul 02.00 subuh, kami tiba di rumah ini. Banyak dari antara kami baru menyadari, kalau kami telah ada di suatu tempat yang baru, ketika matahari pagi di tanggal 30 November 2020 telah bersinar terang. 

Bahwa rupanya, saat ini kami sedang  berada di sebuah sekolah di kota Lewoleba, yakni SMPN 1 Nubatukan. Sekolah yang kemudian kami kenal sebagai Spensa Nubatukan. 

Ketika waktu terus bergerak dan hari semakin terang terlihat, kami akhirnya sadar, ternyata di sekolah ini, kami tidak sendiri. Ada sekian ratus orang yang tidak kami kenal sebelumnya, ada bersama kami di sini. Untungnya, meski berbeda kampung dan suku, namun kami disatukan dengan bahasa dan budaya yang sama; lamaholot. Kami akhirnya bisa cepat menyesuaikan diri dan berusaha  membangun kemunikasi secepat bisa, agar bisa terus bertahan. 

Lebih dari pada itu, kami sangat kaget. Semua penghuni rumah ini,  ternyata sangat ramah. Mereka adalah para guru dan pegawai Spensa Nubatukan. 

Kami melihat dan merasakan sendiri betapa  hati ibu dan bapak guru di rumah ini begitu mulia. Kami merasakan adanya cinta yang sangat besar dari mereka. Mulai dari bapak kepala sekolah hingga staff, semuanya sungguh peduli. 

Dari awal kehadiran kami di sini, entah pagi, siang, hingga malam, kami tidak pernah dibiarkan sendiri. Kami melihat bagaimana mereka sangat kompak dalam semua pekerjaan mengurus kami di rumah ini. Kami melihat dan merasakan semuanya itu. 

Bahkan kami selalu mendoakan setiap tetes keringat mereka yang jatuh di tungku api, di meja makan, bahkan hingga ke hutan-hutan dan kampung-kampung, mencari sesuap nasi untuk kami dan anak-cucu kami.

Kami sadari bahwa apa yang mereka lakukan ini bukan karena perintah. Bukan juga karena tugas atau kewajiban. Tetapi lebih dari pada itu, karena kemanusiaan. Mereka terpanggil untuk kemanusiaan. Yah, untuk kemanusiaan. Kami salut untuk semuanya.


TRANSISI DIPERPANJANG BERKALI-KALI, CINTA PARA GURU SPENSA PADA KAMI TAK PERNAH PADAM

Bagi sebagian orang, ketika bekerja mengurus pengungsi di posko-posko pengungsian dalam waktu yang kian lama, tentu bukan pekerjaan yang akan disukai. Banyak yang mungkin sudah menyerah dan pergi.

 Tetapi di sini? Sama sekali kami tidak menemukan itu di wajah para guru di sekolah ini. Kami melihat semuanya sangat menikmati kerja sama dan waktu-waktu bersama kami, di setiap shift pekerjaan mereka. 

Jika kami hitung, sudah kurang lebih 3 kali, waktu transisi kami lewati di rumah ini. Dan tèrakhir, yang kami dengar adalah waktu tinggal kami di posko ini diperpanjang lagi hingga tanggal 2 Januari 2020 mendatang.

 Setelah itu, akan dievaluasi kembali oleh pemerintah. Apakah kami sudah bisa pulang kembali dan jalani hidup kami di kampung halaman seperti dahulu, atau kami masih harus tetap tinggal di rumah ini, sampai dengan batas waktu tertentu.

Terlepas dari sampai kapan pun itu keputusannya nanti, yang jelas kami sangat bersyukur untuk semua cinta dan kebaikan Tuhan dan Lewotanah, di rumah ini. Kepada bapak dan ibu guru, serta pegawai dan relawan di posko Spensa Nubatukan.

Ketahuilah!!. 

Nama kalian akan tetap kami kenang dalam semua doa kami. Nama kalian akan tetap diceritakan dari keturunan demi keturunan kami.


UCAPAN TERIMA KASIH

Perkenankan kami mengucapkan doa dan terima kasih tulus kami kepada:

Tuhan Allah Bapa Rera Wulan, Ina Tanah Ekan, Sukulango Lewotanah, Ina Peni Utan Lolon, Pemerintah Kabupaten Lembata, Kepala Sekolah dan para guru/pegawai Spensa Nubatukan, para relawan, petugas keamanan TNI/POLRI, dan seluruh donatur di mana saja, para hamba  Tuhan yang berhati sangat mulia, terima kasih banyak. 

Semoga semua amal baik dan jasa bapa/ibu/saudara/i sekalian senantiasa diberkati oleh Tuhan Yang Maha Kuasa🙏

                             ***m3***






 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama